Artikel

[Artikel][bsummary]

Sosok

[Sosok][bigposts]

Galeri Kegiatan

[Galeri][twocolumns]

Kemerdekaan dan Kemiskinan


Proklamasi kemerdekaan Indonesia tujuh puluh lima tahun yang lalu, merupakan tonggak sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Haru biru rakyat Indonesia, pertanda bangsa yang terjajah menjadi bangsa yang merdeka. Kemerdekaan yang menjadi impian setelah berabad-abad lamanya kini menjadi kenyataan berkat perjuangan para pendiri bangsa yang berdarah-darah. Namun, kemerdekaan tentu bukanlah tujuan akhir. Karena pada kemerdekaan tersirat makna, bahwa kemerdekaan juga tentang kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

Tetapi, jika melihat kenyataan saat ini, masih menyisakan tanda tanya besar, adakah kemerdekaan ini benar-benar telah terwujud? Terlebih di tengah pandemi yang saat ini menimpa negeri Indonesia. Hingga Maret 2020, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, bahwa angka kemiskinan bertambah dari 1,63 juta menjadi 26,42 juta. Ini menunjukkan bahwa amanat proklamasi kemerdekaan belum sepenuhnya terwujud, karena masih banyak masyarakat yang hidup di tengah kemiskinan.

Ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah saw. berhubungan erat dengan perubahan sosial yang eksploitatif menuju tatanan yang berkeadilan. Hal ini tampak jelas saat Rasulullah berupaya membebaskan budak dari belenggu pemiliknya. Itu artinya, bahwa agama lahir bukan dalam ruang yang hampa, melainkan sebagai bentuk respon atas realitas sosial yang menindas. Di samping itu, sebagai isyarat bahwa kesalehan personal kepada Tuhan harus diwujudkan dengan memberantas kaum mustad’afin dalam semangat iman dan amal.

Kemiskinan sebenarnya lebih disebabkan oleh sumber kebutuhan manusia yang tidak terbatas dihadapkan pada kelangkaan sumber daya yang sangat terbatas. Hal ini tampak jelas misalnya, saat Allah berfirman dalam Alquran Qs. al-Baqarah: 155, yang artinya: “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”

Sementara, untuk keinginan manusia yang tak terbatas juga dijelaskan di dalam Alquran Qs. al-Takaatsur: 1-5, yang artinya: “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu),  dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin.”

Ajaran Islam sebenarnya sangat jelas, yaitu memposisikan manusia sebagai makhluk Tuhan. Artinya, manusia tidak memiliki dasar untuk mengklaim sebagai “pemilik”, kecuali sebagai makhluk semata. Bahkan, eksistensi manusia tidak diukur dari kepemilikan atas kekayaan dunia, melainkan atas keimanannya. Dalam hal ini, bukan berarti agama tidak mengakui kepemilikan. Namun, hal tersebut didasarkan pada prinsip, bahwa harta bukan milik seseorang sepenuhnya, akan tetapi juga milik orang lain di dalamnya.

Prinsip yang lain adalah bahwa harta harus didistribusikan: “Supaya harta itu jangan sampai beredar hanya di antara orang-orang kaya di sekeliling kamu," (Qs. 59: 7). Ini membuktikan bahwa Islam sangat menentang akumulasi, dominasi dan konsentrasi. Bahkan, dengan tegas Al-Qur'an menyatakan, bahwa musuh agama adalah mereka “yang menelantarkan anak yatim,” (Qs. 107: 2-3), dengan kata lain, orang-orang yang membiarkan kemiskinan berkembang dan tidak berupaya menghilangnya kemiskinan tersebut.

Dapat disimpulkan, bahwa keadilan merupakan esensi dari ajaran Rasulullah saw. Keadilan merupakan ajaran yang bersumber dari tauhid. Tauhid mengajarkan hanya ada satu Tuhan yang patut disembah, selain Tuhan adalah makhluk. Tauhid membebaskan manusia dari pemahaman paganisme, membebaskan manusia dari ketidakadilan, dari penindasan kelas, dari ordonansi-ordonansi dan hukum-hukum yang dibebankan demi keuntungan satu kelompok, satu kelas tertentu.

Seruan Islam adalah untuk rahmat dan pembebasan. Awal setiap surat dimulai dengan penyebutan dua jenis rahmat, yang umum dan yang khusus: “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang” dan “Kami mengutusmu (Muhammad) untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam,” (Qs. 21:107). Rahmat ini adalah kasih bagi seluruh manusia. Jihad Nabi (perjuangan keagamaan) adalah rahmat, hijrahnya (perpindahan dari Mekkah ke Madinah) juga rahmat, hukumnya adalah rahmat, bimbingan prinsip-prinsipnya adalah rahmat: karenanya ajaran Islam seharusnya di dasarkan pada (prinsip) rahmat.

Dengan demikian, agama harus tampil sebagai pemberi solusi atas pelbagai problem sosial kontemporer yang dihadapi manusia. Kalau keadilan diyakini sebagai esensi dari ajaran Islam, umat Islam seyogianya bergandeng tangan untuk mengeliminasi semua bentuk ketidakadilan di masyarakat, termasuk ketidakadilan ekonomi dalam wujud kemiskinan. Maka, peringatan hari kemerdekaan Indonesia yang ke 75 ini, merupakan momentum untuk terus berjuang menegakkan kemerdekaan di berbagai bidang, termasuk kemerdekaan dari kemiskinan yang selama ini masih dirasakan oleh masyakarat.

DIRGAHAYU REPUBLIK INDONESIA KE-75


oleh: Mahdy Ashiddieqy, M.Ag



Mari wujudkan cita-cita mereka, bersama Panti Asuhan Yatim dan Sosial Al-Hasan, Karah, Surabaya. 
Semoga niat baik kita seiring dengan ridha dan maunah dari Allah SWT. dinilai sebagai amal jariyah di sisi-Nya. Aamiin.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar