Bijak Menyikapi Persoalan Rajab
Umat Islam khas Nusantara memang sangat lekat dengan beragam tradisi dan budaya keagamaan. Agama dan budaya seperti telah menjadi hubungan simbiosis. Apapun tradisi keagamaan sering kali dibumbui dengan berbagai pola tradisi dan budaya. Tradisi Rajabiyah misalnya, di mana setiap Bulan Rajab mereka menghiasi hari-harinya dengan berbagai amaliyah dan ibadah. Demikian juga peringatan Isra' Mi'raj akan menjadi momen perayaan pada setiap tanggal 27 Rajab.
Tradisi tersebut memang tidak lepas dari pro dan kontra. Karena hadis tentang amaliah bulan Rajab masih diragukan kualitasnya. Sebagian mengatakan lemah, bahkan ada yang mengatakan palsu. Silang sengkarut semacam ini adalah hal yang wajar terjadi di kalangan Ulama'. Karena masing-masing melihat dari sudut pandang yang berbeda. Sehingga, hasilnya pun akan berbeda pula. Bahkan, lingkungan pun bisa sangat mempengaruhi terhadap hasil pemahaman tersebut.
Ulama' Sufi misalnya, bisa sangat bertolak belakang pendapatnya dengan Fuqaha' dan Muhadditsin dalam menyikapi sebuah hadis. Perbedaan tersebut terletak pada bagaimana mereka menggunakan nalar pengetahuan terhadap sebuah teks hadis. Kaum Sufi menelaah hadis dari sudut pandang irfani (intuisi) dan penyucian diri, sementara yang lain mengarah pada aspek bayani (analisis teks) dan burhani (hukum logika). Sehingga, hasil analisisnya pun menjadi berbeda.
Kaum Sufi melihat Islam dari sudut pandang sederhana. Karena bagi mereka, agama seharusnya bisa dirasakan tidak hanya oleh orang yang paham agama saja, akan tetapi juga dirasakan oleh masyakarat awam. Berbeda dengan para Fuqaha' dan Muhadditsin, di mana disiplin ilmu yang mereka bangun tentu akan menemui jalan buntu bagi orang yang awam terhadap agama. Pada prinsipnya, Ulama Sufi tidak menentukan standar tinggi bagi masyarakat awam di dalam memahami agama.
Dengan pola pandang sederhana tersebut akan mudah mengarahkan masyarakat awam dalam memahami sebuah hadis, karena yang didahulukan adalah pemahaman Islam yang komprehensif dari pada validitas sebuah hadis. Masyakarat akan mudah menerima suatu lafal yang dikatakan hadis Rasulullah walaupun itu dhaif (lemah) atau bahkan palsu. Apa lagi, sebagian Ulama' menyatakan boleh mengamalkan hadis dhaif selama hadis tersebut tidak berkaitan dengan akidah, sifat-sifat Allah dan hukum Islam (fiqih).
Kaitannya dengan bulan Rajab, ia merupakan satu di antara empat bulan yang mulia (arba'atun hurum). Rasulullah jika datang bulan Rajab beliau senantiasa berdoa; "Allahumma barik lana fi Rajaba wa Sya’bana wa ballighna Ramadlana", artinya: “Ya Allah, berkatilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban. Serta pertemukanlah kami dengan bulan Ramadlan”. Dalam kitab al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra karya Imam Ibnu Hajar al-Haitami dikatakan, bahwa dianjurkan untuk melakukan puasa sunnah di bulan Rajab.
Lebih lanjut beliau mengatan, bahwa seseorang tidak harus berpedoman kepada hadis-hadis palsu yang telah diungkapkan oleh sebagian Ulama' terkait kesunnahan puasa Rajab. Hanya saja, ia juga harus memperhatikan bahwa banyak riwayat lain yang kuat secara kualitas berkenaan dengan kesunnahan puasa tersebut. Sebagaimana hadis riwayat Abi Daud, Ibnu Majah dan lainnya, yang menyatakan kemuliaan bulan Rajab, bahkan lebih mulia di antara 4 bulan mulia lainnya.
Di samping itu, ada riwayat yang mengisahkan bagaimana para sahabat dan salafunas sholeh melakukan amaliyah di bulan Rajab. Riyawat tersebut yaitu, “Utsman bin Hakim al-Anshari bertanya kepada Said bin Jubair tentang puasa Rajab (saat itu sedang di bulan Rajab). Said menjawab: Saya mendengar Ibnu Abbas berkata bahwa Rasulullah saw. berpuasa sehingga kami berkata: Rasulullah tidak berbuka. Dan Rasul berbuka sehingga kami berkata: Rasulullah tidak berpuasa” (HR Muslim No 2782).
Dari riwayat tersebut dapat dipahami bahwa pada hakikatnya tidak ada larangan dan anjuran secara khusus untuk melakukan puasa di bulan Rajab. Namun, jika mengacu pada Kitab Sunan Abi Dawud, di sana dijelaskan bahwa Rasulullah saw. menganjurkan berpuasa di bulan-bulan haram, termasuk di dalamnya bulan Rajab. Bahkan, hadis dhaif-pun sebetulnya tetap bisa menjadi acuan selama hadis tersebut masih berkaitan dengan fadhaailul a'maal.
Pada prinsipnya, hadis palsu tentang amaliah bulan Rajab harus ditolak, terlepas apakah matannya mengandung hikmah atau tidak. Tetapi, jika status hadis masih dhaif (tidak sampai pada derajat palsu), maka tetap bisa diamalkan selama hadis tersebut berkenaan dengan targib (motivasi ibadah), tarhib (peringatan) seperti nasihat, kisah-kisah, dan fadhailul a'mal. Hal ini sebagaimana yang telah diterangkan oleh Syaikhul Islam al-Imam al-Hafidz al-'Iraqi dalam al-Tabshirah wal al-Tadzkirah.
Dengan memperhatikan penjelasan di atas, maka amaliah bulan Rajab, apalagi puasa sunnah, merupakan tradisi yang harus tetap dijaga dan dilestarikan bersama. Karena amalan-amalan tersebut sejatinya sebagai bentuk expresi atas keimanan, kepatuhan serta kesalehan kita kepada Allah SWT. Apalagi bulan Rajab adalah bulan mulia, bulan di mana Rasulullah menganjurkan untuk melakukan puasa sunnah dan amalan baik lainnya, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.
Apa yang telah diyakini dan diamalkan oleh sebagian Muslim Indonesia, pada dasarnya merupakan serpihan hikmah dari apa yang telah diajarkan oleh para Ulama sebelumnya. Artinya, amalan tersebut mempunyai pijakan yang kuat. Sehingga, kita semua boleh mengamalkan bahkan dianjurkan untuk melaksanakan puasa sunnah dan amalan baik lainnya di bulan Rajab. Semoga, Allah senantiasa memberikan kekuatan dan keistiqamaan dalam ketaatan kepada Allah SWT. اللهم بارك لنا في رجب وشعبان ولغنا رمضان.
Oleh: Mahdy Ashiddieqy, M.Ag.
Mari wujudkan cita-cita mereka, bersama Panti Asuhan Yatim dan Sosial Al-Hasan, Karah, Surabaya.
Semoga niat baik kita seiring dengan ridha dan maunah dari Allah SWT. dan dinilai sebagai amal jariyah di sisi-Nya. Aamiin.
Labels:
Artikel
Tidak ada komentar:
Posting Komentar